From World for Nagekeo
Headlines News :
Home » » PERKAWINAN ADAT NAGEKEO

PERKAWINAN ADAT NAGEKEO

Written By Unknown on Saturday, February 25, 2012 | 3:57 PM

Oleh: Cyrilus Bau Engo

Cyrilus Bau Engo
Perkawinan adat Nagekeo adalah perkawinan yang membutuhkan proses mulai dari persiapan, peminangan, proses pembayaran mas kawin (belis) dan perkawinan. Setiap tahapan perkawinan ada ketentuan dan prosedurnya dan juga ada jumlah dan jenis belis yang harus di bayar serta tata cara pelaksanaannya dan juga ada pengaturan tentang sanksi bila ada pelanggaran. Proses perkawinan adat dapat diuraikan sebagai berikut:


1. Persiapan/Pendewasaan

Budaya Nagekeo menekankan bahwa untuk memasuki suatu perkawinan perlu ada persiapan baik biologis, ekonomi dan social. Bagi orang Nagekeo, seorang yang akan menikah haruslah orang yang sudah akil balig. Untuk menandakan seseorang sudah akil balik ada upacara “gedho logo” (sunat bagi anak laki-laki) dan “koa ngi’i” potong gigi bagi anak perempuan.

Khusus anak perempuan, bila belum potong gigi ternyata hamil maka menurut kepercayaan setempat akan menimbulkan kemarau panjang. Dan bila ada kemarau panjang kemudian ketahuan ada anak gadis yang hamil yang melanggar adat yang disebut “sala we’e ngi’i bha” (melakukan hubungan seks sebelum potong gigi) maka dia akan dipanggil (diteriaki) pada malam hari oleh orang dari kampung lain dengan menyebutkan nama orang yang bersalah dan mereka harus memotong kerbau sebagai denda adat agar hujan segera turun.

Upacara “gedho logo” dan ”koa ngii”, dahulu sangat ketat dilaksanakan tetapi sekarang ini jarang sekali orang melakukannya. Padahal ini penting untuk menandakan bahwa orang baru boleh menikah setelah siap secara biologis. Soal teknik sunat dan potong giginya barangkali yang perlu disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan kesehatan dan situasi zaman sekarang.

Upacaranya sendiri sebenarnya harus tetap dijalankan, karena ada nilai yang mengajarkan seseorang baru berumah tangga setelah cukup umur, ada nlai-nilai budaya penghormatan terhadap lingkungan dan menghargai norma dan tata nilai adat yang baik.

Kalau sunat dan potong gigi mengacu kepada persiapan biologis, maka orang Nagekeo juga menekankan persiapan social ekonomi. Untuk ini diungkapkan melalui ungkapan adat yang mengatakan: Geze ne’e fai, kema kole ‘uma, kaza kole tua (sebelum mencari isteri harus tahu dulu kerja kebun dan menyadap/iris tuak/moke).

2. Peminangan (Tana ngale dan be’o sa’o)

Sebelum membicarakan masalah peminangan, perlu dijelaskan bagaimana orang Nagekeo mencari jodoh. Jodoh orang Nagekeo yang masih memegang adat atau katakanlah pada zaman dahulu ketika adat masih sangat kuat, ditentukan oleh orang tua. Dan jodohnya adalah anak perempuan dari saudara laki-laki ibu yang disebut dengan “li ‘ana tenge”.

Bahkan anak perempuan dari saudara kandung laki-laki ibu lebih diutamakan. Tetapi dengan masuknya agama Kristen, kalau yang saudara sekandung tidak dibolehkan lagi tetapi dari saudara sepupu laki-laki yang lain. Dan saudara dan saudari kandung boleh saling menikahkan sesudah generasi ketiga.

Itu pun syaratnya keturunan dari saudara perempuan yang laki-laki yang mengambil isteri dari keturunan saudara laki-lakinya. Tidak boleh sebaliknya karena itu melanggar adat yang disebut “ngada heli” (menantang rumah adat) atau dikatakan “ebu walo poza wawi” (Merebut kembali daging babi). Dikatakan ngada heli karena dalam struktur adat Nagekeo saudara laki-laki disebut “ana di’i sa’o” yang menjaga “sao pu’u” (rumah pokok) yang dilengkapi dengan “tadu bhada heli hele” (barang-barang pusaka/adat).

Saudara perempuan disebut ”’ana nuka sa’o” (anak yang pergi ke rumah suami) Jadi kalau keturunan anak perempuan yang sudah ikut keluarga suami, yang perempuan kawin dengan keturunan saudara laki-lakinya maka disebut “ngada heli”. Dikatakan “ebu walo poza wawi” karena dalam tata cara perkawinan adat Nagekeo, pihak keluarga laki-laki membawa “bhada ja wea, tua ‘ae”, (kerbau, kuda emas, moke) sementara keluarga perempuan membalasnya dengan “sada hoba wawi” (kain dan babi). Kalau terlanjur karena cinta misalnya harus ada denda adat yang disebut “pe ngia nidi pasu” (untuk menutup rasa malu).

Dalam pergaulan, dikaitkan dengan upaya mencari jodoh dikenal istilah “pie” (pamali, tabu) dan “zia” (boleh). Hubungan yang termasuk “pie” yaitu saudara saudari kandung, status anak atau keponakan kandung, ini yang sama sekali tidak boleh atau dilarang keras oleh adat. Bila terjadi perkawinan (insest) maka akan dikenai denda adat yang sangat berat dan bisa diusir dari kampung. Kalau yang tidak sekandung, atau generasi ketiga dapat diberlakukan upaya “pe ngia nidi pasu”.

Setelah memahami sedikit tentang perjodohan dan pernak pernik upaya mencari jodoh, maka tahap awal dari perkawinan adat adalah peminangan yang dalam dialek setempat masuk minta dan dalam bahasa adat disebut “tana ngale”.

“Tana ngale” ini suatu tahapan penting karena tahapan inilah yang menentukan harkat dan martabat perempuan dan juga mendudukung kuatnya kedudukan si perempuan secara adat dalam keluarga laki-laki. Karena dengan dilaksanakan tahapan ini maka terpenuhilah tuntutan adat tentang kuatnya suatu perkawinan adat yaitu “Ngusa ne’e ta’a dadho padha lodo teda, ngusa ne’e ta’a tula ‘ulu wa’u muzi”. (Harus ada orang yang datang melamar yang ditandai dengan datangnya orang yang melamar di rumah keluarga perempuan).

Yang melamar biasanya utusan keluarga laki-laki, bisa perempuan atau ibu-ibu, bisa laki-laki atau bapak-bapak. Dan dalam melamar biasanya menggunakan symbol dengan mengatakan bahwa mereka akan minta benih/bibit, atau minta tempat sirih pinang, atau minta kain.

Bila lamaran diterima maka untuk lebih memperkuat dan menunjukkan kesungguhan lamaran maka dalam proses lamaran ini diteruskan dengan proses “be’o sa’o” (tahu rumah). Proses ini juga disebut “tu ‘ana haki” (antar sang laki-laki). Untuk tahap ini biasanya sang laki-laki diantar orang tua dan beberapa kerabat.

Pada tahap ini, sudah ada belis berupa satu ekor kerbau dengan kambing dan ayam serta sirih pinang dan moke. Juga ada emas untuk digantungkan di telinga perempuan yang disebut “tada teo” (memberi tanda di telinga). Tujuan dari proses ini adalah agar orang-orang tahu bahwa sang gadis sudah ada yang melamar dan juga dimaksudkan agar tunangannya bisa datang dan bekerja di rumah keluarga perempuan.

Pada saat “be’o sa’o” ini, biasanya dilakukan perundingan kesepakatan apakah dalam proses pengurusan belis kedua keluarga memerlukan perantara atau juru bicara yang disebut “bheto lewa tali nao” atau kedua keluarga berbicara secara langsung. Kalau kedua keluarga sepakat untuk berbicara langsung maka pada kesempatan itu langsung dibicarakan tentang jumlah dan jenis belis. Tetapi bila menggunakan perantara maka pihak keluarga perempuan akan melakukan perundingan keluarga untuk menentukan jumlah dan jenis belis baru sang perantara menyampaikan kepada keluarga laki-laki.

Pada kesempatan ini, karena pihak keluarga laki-laki sudah membawa kerbau dan hewan kecil lain maka pihak keluarga akan memotong babi untuk menjamu keluarga laki-laki. Dan biasanya daging babi yang disiapkan karena hanya khusus untuk keluarga pihak laki-laki saja maka biasanya tidak habis. Dan ini biasanya dimanfaatkan oleh pihak keluarga laki-laki untuk mengajak sang calon isteri ke rumah keluarga laki-laki yang biasa disebutkan dengan istilah “tu lama poza” (antar daging yang sisa). Atau memang keluarga laki-laki berniat untuk memanggil (enga) sang calon isteri ke rumah keluarga laki-laki.

Untuk “tu lama poza” dan “enga” ini dilakukan bila keluarga laki-laki sudah siap dengan belis. Karena menurut ketentuan adat, “tu lama poza dan enga”, hanya dibolehkan 3 hari dan 3 malam. Bila lewat dari waktu yang ditentukan adat akan dikenai denda adat “keso kobe laga leza” (melanggar ketentuan waktu). Dan kalau kelamaan sampai anak perempuannya hamil maka akan dikenakan denda “keso ‘ine laga ‘ame” (melanggar ketentuan orang tua).

Bila setelah proses ini misalnya si perempuan yang dilamar tidak mau maka orang tuanya harus mengembalikan belis yang sudah dibayar. Bila si laki-laki yang tidak mau maka akan dikenakan denda adat “kopo ‘eko obo hinga” (denda karena sudah ditandai) atau “paki tangi wela teda” (denda karena sudah pernah duduk di rumah keluarga perempuan)

3. Pembayaran Belis (Tau Ngawu/Tu teo)

Pada saat “beo sa’o” sudah disepakati tentang apakah pakai juru bicara atau berbicara langsung. Baik bicara langsung atau melalui juru bicara, yang dibicarakan berkaitan dengan belis yaitu jenis dan jumlah belis. Tentang jenis belis, yang harus dibawa oleh keluarga laki-laki adalah: kuda, kerbau, emas, sapi, kambing, domba, anjing, ayam, kelapa, pinang, sirih dan moke.

Pada saat membawa belis yang dalam bahasa adat disebut “Tau Ngawu, Tu teo” jenis dan jumlah yang dimaksud adalah sebagai berikut. Kerbau misalnya ada salah satunya adalah kerbau jantan besar yang disebut “Bhada Coe ‘Ae”. Kerbau ini, pada saat dibawa maka ketika sampai di pelataran rumah salah seorang anggota keluarga perempuan akan menyiram sang kerbau jantan dengan air sebagai tanda penyambutan dengan hati lapang dan dingin. Dan menurut adat, sesudah “bhada coe ae” haru ada kerbau pengikut (bhada dheko) minimal satu ekor.

Jadi pada saat bawa belis minimal ada dua ekor kerbau, satu yang besar dan satu yang kecil. Jenis hewan besar yang lain adalah kuda. Jumlahnya tergantung tuntutan seperti misalnya: ja kapi topo bhuja (kuda sebagai pendamping pedang dan tombak pusaka), ja ai (kuda tunggangan), ja dheko bhada (kuda untuk mengikuti kerbau). Kadang ada yang minta “ja toda ha’e (kuda untuk muat makanan babi)

Menurut adat Nagekeo. Belis yang dibawa oleh keluarga laki-laki, harus dibalas oleh pihak keluarga perempuan. Pembalasan dihitung sesuai dengan jumlah kerbau yang dibawa. Dalam prakteknya, setelah seluruh bawaan pihak perempuan diterima maka acara selanjutnya adalah “kole wawi”. Maksudnya, pihak keluarga perempuan mengantarkan babi ke pelataran rumah untuk diserahkan ke pihak perempuan untuk dibunuh sebagai jamuan untuk keluarga pihak laki-laki.

4. Sahnya perkawinan Adat (So topo seli bhuja, Tii tee pati lani)

Perkawinan adat akan disahkan pada saat pembayaran belis. Pada saat pembayaran belis, rombongan keluarga laki-laki yang membawa belis selalu didahului oleh sepasang suami isteri yang adalah kakak adik satu suku dari keluarga laki-laki yang membawa “topo bhuja” dan binatang sebagai pendamping yaitu ayam jantan dan kuda atau kerbau sesuai kesepakatan.

Ketika sampai di rumah perempuan, yang boleh masuk rumah adalah orang yang membawa “topo bhuja” dan calon mempelai laki-laki. Mereka masuk dalam rumah dan melakukan perundingan singkat tentang apakah pihak keluarga perempuan menerima “topo bhuja dan barang-barang bawaan yang mengikutinya.

Bila sudah sepakat, maka topo bhuja diterima kemudia pihak perempuan membalas dengan kain dan tikar bantal dan juga babi. Sesudah itu kelompok kecil dalam rumah ini makan bersama yang disebut “ka peme”. Makanannya terdiri dari nasi dan daging. Dagingya, kalau dahulu adalah “bogi (lemak babi yang diawetkan dengan tepung jagung). Bogi ini berasal dari pihak mama dari si gadis (ebu tau) sebagai restu dan berkat.

Kalau sudah berlangsung “ka peme” sebenarnya pada saat itulah sahnya perkawinan adat karena sudah selesai proses “so to topo seli bhuja” dan terpenuhilah ungkapan adat “so nee topo woso seli nee bhuja negi” (ikrar perkawinan yang dipagari oleh pedang dan tombak pusaka) Dengan demikian perkawinan adat sah. Sesudah “ka peme” mempelai laki-laki dan mempelei peempuan diberi pakaian adat lalu didampingi keluarga mereka turun dan menghidangkan sirih pinang dan rokok kepada semua yang hadir.

Dan dengan demikian rombongan yang membawa belis dipersilakan masuk rumah keluarga perempuan dan barang-barang bawaan diserahkan dan sesudah proses perundingan adat selesai maka pihak perempuan akan menyerahkan babi danberas untuk di masak oleh keluarga laki-laki.

Pihak keluarga laki-laki menyerahkan kerbau, sapi atau kuda untuk di sembelih oleh keluarga perempuan untuk diberikan kepada warga kampung sebagai “begha ulu eko” (Memberi makan untuk warga kampung). Hal ini sangat penting karena proses perkawinan ini harus diketahui oleh semua warga kampung yang dalam ungkapan adat disebut “ulu punu eko beo”.

Dengan proses “tu ngawu” maka secara adat perkawinan tersebut sudah sah. Dan perempuan akan dibawa ke keluarga laki-laki dan terjadilah proses “tii tee pati lani” yaitu memberikan tikar dan bantal yang menandakan bahwa pasangan tersebut sudah sah sebagai suami isteri. Bagi yang beragama Katholik bisa dilanjutkan dengan sakramen pernikahan.

5. Makna belis dalam Perkawinan adat Nagekeo

Setelah mengikuti proses perkawinan adat seperti yang digambarkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa makna belis dalam perkawinan adat adalah:

a. Perkawinan adat membutuhkan persiapan matang baik secara biologis (potong gigi/sunat) maupun secara sosial ekonomis (ungkapan adat harus kerja kebun dan iris moke).
b. Perkawinan adat mengangkat harkat dan martabat perempuan (dadho padha lodo teda, so topo seli bhuja)
c. Perkawinan adat mengikat persaudaraan antara keluarga pria dan wanita
d. Perkawinan adat mengajarkan orang untuk tahu membalas jasa orang tua
e. Perkawinan adat tidak memberatkan pemangkunya
f. Perkawinan adat menjamin hak-hak anak yang dilahirkan
g. Perkawinan adat membutuhkan keterlibatan kerabat, handai taulan dan tetangga (Dalam tuntutan adat perkawinan ada yang namanya begha ulu eko untuk memenuhi nilai adat ‘ulu punu ‘eko be’o, mona ta dhegha he’a ‘aku awu, mona kisa kobe manu kako). Dari tuntutan adat begha ‘ulu ‘eko ada pantun adat yang berbunyi, bhada tau ‘apa wea tau .apa, tua nee koo ka moo tau dezi ngaza.

6. Penutup

Demikian tata cara perkawinan adat Nagekeo khususnya perkawinan adat nage di Kecamatan Boawae. Seluruh Nagekeo memiliki proses adat yang hampir sama hanya tahapannya agak berbeda antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya dan juga istilah-istilah adatnya ada perbedaan-perbedaan kecil.

Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo

Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul PERKAWINAN ADAT NAGEKEO,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda . Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel PERKAWINAN ADAT NAGEKEO ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link PERKAWINAN ADAT NAGEKEO sebagai sumbernya.

Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 3:57 PM
Share this post :

+ comments + 2 comments

Anonymous
February 20, 2015 at 7:37 AM

terima kasih Bapa Cyrilus, untuk tulisannya. sangat menarik. kalau bisa, ungkapan2 atau bahasa2 simbolik yang digunakan dalam setiap tahapan perkawinan adat itu disertakan, karena saya rasa itu juga sangat penting. terima kasih.

March 20, 2017 at 5:48 PM

Trima kasih bpk. Bpk sebg orang Muda nagekeo saya anjurkn bpk tlng ajarkn km bhasa2 adat krn bhsa adat sarat mknanya. Menarik sekli bpk.trim kasih

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Nagekeo Pos

 
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger