From World for Nagekeo
Headlines News :
Home » » Linda Boleng: Mari menenun keindahan (Nagekeo) Flores

Linda Boleng: Mari menenun keindahan (Nagekeo) Flores

Written By Unknown on Tuesday, July 5, 2016 | 6:55 AM


JAKARTA (Nagekeo Pos) - Menenun keindahan Flores harus dimulai dengan menenun keindahan Nagekeo, demikian ajakan Linda Boleng, sosok wanita cantik yang aktif memperkenalkan ragam hias baju Kodo Nagekeo dengan teknik bordir.

Linda Boleng saat ini sangat dikenal di Nagekeo sebagai wanita dibalik popularitas motif Kodo Nagekeo, motif yang sangat digemari wanita-wanita cantik abad modern ini.

Linda mengaku jika dirinya belajar menenun Kodo dari ibu mertuanya Agatha Azi, yang masih aktif membuat ragam hias Kodo dengan teknik bordir hingga hari ini meski telah menapak usia ke-84.

"Dibantu oleh bapak mertua saya, bapak Yan Boleng (86 th), kedua orgtua ini melayani kebutuhan Kodo para calon pengantin/Kodo untuk urusan adat," tulis Linda di laman facebook.

Menurut Linda, bapak mertuanya sangat piawai dalam membuat pola dan menggambar motif Kodo sementara ibu mertua terampil menjahit dan membordir.

"Ketrampilan membordir mama dipelajarinya dari kursus di Makasar sekian puluh tahun yang lalu. Mama di masa mudanya juga aktif membagi pengetahuan membordir ini kepada para ibu di Boawae."

Asal Muasal Kodo

Menurut cerita Agatha Azi, ibu mertua Linda Boleng, dulu orang Boawae mengenakan Hoba Nage dengan mengikatnya di dada, tanpa mengenakan baju. Tidak tahu pasti sejak kapan (baju) Kodo mulai dipakai di Boawae.

Saat ini wanita Nagekeo lebih banyak mengenakan Kodo To Mite (baju Kodo dengan kombinasi warna merah hitam). Sementara di wilayah selatan Nagekeo juga sangat populer dengan Kodo Ma'u, sebagaimana populernya Kodo So'a (Ngada).

Linda Boleng menjelaskan, Kodo To Mite memiliki arti Kodo ini berwarna hitam yang ditambah hiasan garis-garis berwarna merah (juga putih) di bagian lengan dan pinggang baju.

"Hiasan merah putih ini dibuat dengan teknik aplikasi, yaitu menjahitkan potongan kain merah dan putih di atas blus hitam sehingga terlihat seperti tiang-tiang."

Paulus Boleng, yang pernah menggawangi seksi pemasaran di dinas pariwisata NTT, kemudian meminta Agatha Azi, ibu mertua Linda Boleng, menambah hiasan pada kodo dengan peo dan wea wunu wona, tapi tetap mempertahankan motif tiang-tiang merah putih (motif awal/asli).

Agatha Azi menurutinya, menambah gambar peo dan wea, dengan alasan estetis untuk memperindah Kodo. Agatha Azi juga menambahkan motif segitiga di Kodo, ragam hias yang sering ditemukan pada rumah-rumah adat di Boawae.

Mama Agatha Azi belakangan memilih warna kuning untuk seluruh bordiran Kodo, warna yang menggambarkan emas (wea). Untuk Kodo pengantin, Mama Agatha Azi memilih menggunakan bahan beludru untuk memberi kesan mewah pada Kodo pengantin.

Hanya saja kain beludru membuat hawa panas bagi pemakainya dan ketika dicuci akan rusak penampilan. Kodo beludru cocok untuk acara di ruang ac, di tempat dengan hawa sejuk atau dingin, locus yang membuat wajah pemakai lebih cantik karena ditatap oleh pasang mata dengan suasana hati yang sedang lembut.

TESTIMONI

Vitalis Ranggawea:

Ketika Kodo masih polos, busana ini seolah mencerminkan keterbelakangan atau Ndu'a kata orang Ma'u. Ingat masa itu nyora-nyora, sebutan populer untuk isteri guru lebih memilih kenakan kebaya. Dan wanita pesisir lebih nyaman dengan baju dambu ende dengan lengan pendek seolah tak terurus.

Setelah Nagekeo menjadi kabupaten Kodo muncul semakin kuat menjadi busana khas daerah. Modifikasi pada lengan, krah leher serta memberi tekukan pinggang yang lebih pas, elemen sulaman mengambil motif wajid, peo dan anting khas wea wunu wona membuat Kodo semakin indah.

Dan KODO tampil berkarakter. Kodo semakin bersinar dan semakin nyaman dikenakan sebagai busana ekslusif pada pesta. Dan harganya pun adu hai (bisa capai Rp850.000). Finishing pada baju model (Kodo) sangat apik, semua pola simetris dijaga jumlah tusukan jarumnya, pengenaan kliman pinggir pada leher dan lengan memberi kesan apik dan elegan.

Pertahankan warna khas dan angkat sebanyak mungkin ornamen asli daerah. Hindari bahan mengkilap untuk cermin originalitas produk tradisional. Ornamen hias sebaiknya yang khas etnik. Kembali pada warna khas kita, biru tua/hitam (talu) dan kuning menyala (kembo/mengkudu). Aksesoris baju adalah mbutu (manik-manik). Pada masa lalu manik-manik berwarna merah, hijau (biru) dan putih.

George Soge Soo:

Memang hingga saat ini kita belum ada sumber kapan Kodo ini mulai dijadikan baju adat kita. Saya berpendapat yang namanya budaya itu bergerak mengikuti peradaban manusia. Memang tidak bisa dipungkiri selalu ada tonggak yang menandai titik start pergerakan budaya itu. Dalam kacamata budaya, kita melihat itu sebagai awal peradaban. Namun kembali lagi bahwa peradaban itu dinamis, maka tentu saja setiap generasi dalam masing-masing peradaban itu mempunyai bentuk budaya yang selalu berkembang.

Kita yang hidup dalam peradaban sekarangpun tidak punya bukti kuat peradaban mana yang mau kita tiru. Salah satunya terlihat dari penggunaan busana adat. Belum ada sumber yang jelas, busana seperti apa yang dijadikan busana adat kita. Pada awal peradaban Nage, nenek moyang kita belum mengenal Kodo. Bahkan untuk kaum pria, masih telanjang dada.

Seperti di bagian Selatan, Ende sampai pesisir Keo Tengah, Lawo-Lambu (Dawo-dambu) mulai diminati ketika ada masuknya pengaruh Gowa (baju bodo). Saya berterima kasih atas informasi yang bermanfaat dari ibu Linda terkait peran beberapa tokoh yang punya andil dalam pelestarian budaya kita.

Maria Margaretha Doy:

(Kodo) Boleh di-modifikasikan dengan model apa saja tetapi KEKHASANNYA (Motif & Corak aslinya) jangan sampai dihilangkan karena itu merupakan salah satu kekhasan Baju adat perempuan Nagekeo. Perlu diceritakan sekilas biar anak cucu kita mengetahui sejarahnya yang BENAR & TEPAT tanpa bermaksud membeda-bedakan.

ASLI & ASALNYA adalah: "Baju adat khas perempuan Boawae & menurut cerita para sepuh, pada jaman dahulu KODO ini hanya dikenakan oleh KAUM WANITA BOAWAE DARI KETURUNAN NINGRAT saja", tapi dengan perkembangan jaman, "KODO TO MITE" ini menjadi BAJU ADAT KHAS & MILIK SEMUA PEREMPUAN NAGEKEO.

Kita harus BANGGA dengan PEREMPUAN2 NAGEKEO JAMAN DAHULU karena mereka sudah menjadi DESIGNER & CHOREOGRAPHER pada jamannya & mereka berhasil mewarisi ini kepada kita semua sebagai generasi muda sekarang.

Daya Cipta perempuan2 Nagekeo luar biasa. Ayo!!!perempuan2 Nagekeo generasi skrg "Mari kembangkan semua TALENT yg kita punyai agar tidak kalah dg sepuh2 kita sebelumnya&jg agar perempuan2 Nagekeo skrg "Bisa bersaing diberbagai bidang yg baik&benar dg perempuan2 lainnya di seluruh Indonesia&Mancanegara.SEMOGA!!!GBU ALL



Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo

Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Linda Boleng: Mari menenun keindahan (Nagekeo) Flores,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda . Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Linda Boleng: Mari menenun keindahan (Nagekeo) Flores ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Linda Boleng: Mari menenun keindahan (Nagekeo) Flores sebagai sumbernya.

Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 6:55 AM
Share this post :

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Nagekeo Pos

 
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger